Konferensi
Asia-Afrika yang terjadi pada tahun 1955 telah membuat banyak monumen, yang
salah satunya menjadi nama jalan di pusat Kota Bandung hingga sekarang. Jalan
Asia-Afrika ini juga dijuluki “jalur sutera”, Karena letaknya yang strategis
yang menghubungkan antara kawasan Bandung Timur dengan Bandung Barat, juga
adanya pusat perdagangan kopi di Jalan Asia-Afrika.
Pada tahun 1955, tepatnya pada
tanggal 18 April-24 April, Konferensi Asia-Afrika terjadi di Gedung Merdeka,
Bandung. Konferensi ini bertujuan untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan
kebudayaan Asia-Afrika, juga untuk melawan kolonialisme atau neokolonialisme
Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara imperialis lainnya. Sebanyak 29 negara
dari Asia dan Afrika mengirimkan perwakilannya untuk menghadiri Konferensi
Asia-Afrika ini.
Dari Konferensi Asia-Afrika inilah,
akhirnya jalan yang terlewati oleh rombongan peserta konferensi ini dinamakan
Jalan Asia-Afrika. Sejarah penamaan Jalan Asia-Afrika ini, memang tidak jauh
dari adanya Konferensi Asia-Afrika. Sebelum dinamakan Jalan Asia-Afrika, jalan
ini memiliki nama-nama yang berbeda sesuai dengan kebijakan pemerintah pada
saat itu. Hal ini pun diutarakan oleh bidang
pendikan Museum KAA, Desmon Satria Andriana (48).
“Pada masa pendudukan Hindia Belanda Jalan
Asia-Afrika ini bernama Jalan Pos. Dinamakan Jalan Pos, karena jalan ini
dulunya digunakan sebagai alat untuk memperlancar komunikasi lewat pos-pos yang
terbentang dari Padalarang sampai Cibiru. Adapun pada masa penjajahan Jepang
jalan pos ini dibagi dua dengan nama Jalan Raya Barat yaitu dari Ciroyom-Cimande-Pasar
Baru, dan Jalan Raya Timur dari Pasar Baru-Cicaheum-Cibiru. Baru pada masa
kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 07 April 1955, Soekarno datang ke Bandung
dan meresmikan 3 nama, yaitu Gedung Merdeka, Gedung Dwi Warna, dan Jalan Raya
Asia-Afrika. Mengenai sejarah penamaan Jalan Asia-Afrika ini juga, bisa dilihat
di minite of meeting Persiapan KAA.” Ujar Desmon (48) ketika ditanya
mengenai sejarah penamaan Jalan Asia-Afrika.
JALUR SUTERA
Kata “Jalur Sutera” sendiri, biasanya
kita dengar dalam rute perdagangan dari peradaban Cina kuno, yang menghubungkan
antara benua Asia dan Eropa melalui jalur darat. Dinamakan jalur sutera pertama
kali diperkenalkan oleh Geografer Jerman Ferdinand von Richthofen pada
abad ke-19, karena komoditas perdagangan dari Cina yang paling banyak adalah
sutera. Selain itu, di jalur sutera ini terdapat berbagai komoditas lain yang
dijual yang banyak dibutuhkan orang-orang, seperti rempah-rempah, kain, dan
lainnya.
Jalur sutera yang terkenal itu,
merupakan jalur darat dari ibukota Dinasti Tang Cina di Timur ke Roma dan di
Barat ke ibukota Italia. Jalur sutera pun dibagi menjadi dua, yaitu jalur Utara
dan Selatan. Rute Utara melewati Bulgar Kipchak- Eropa Timur- Semenanjung
Crimea- laut hitam- laut Marmara- Balkan-Venezia, adapun rute Selatan melewati
Turkestan- Mesopotamia- Anatolia-Antiokia- laut tengah- Levent- Mesir- Afrika
Utara.
Begitu terkenal dan pentingnya jalur
sutera pada zaman dahulu, sehingga menjadi pusat perdagangan dunia. Maka tak
heran, banyak yang berbondong-bondong melewati jalur sutera untuk sekedar
menjual hasil buminya, ataupun membeli komoditas yang ada di negara lain, yang
dijual di jalur sutera.
Selain jalur sutera yang berpusat di
Cina itu, kita dapat menemukannya di negara kita sendiri tepatnya di Jalan
Asia-Afrika, Bandung. Tak salah, Jalan Asia-Afrika disebut juga “Jalur Sutera”,
karena Jalan Asia-Afrika sendiri menjadi pusat dari perdagangan kota Bandung
saat itu, sama seperti Cina. Selain itu, letaknya yang strategis, yang mudah
dijangkau semua orang. Bagian edukator Museum KAA pun menjelaskan bahwa,
“Jalan Asia-Afrika merupakan denyut
nadi perekonomian di Bandung, karena jalan ini menghubungkan 4 Kabupaten, yaitu
Bandung, Cirebon, Sumedang, dan Sukabumi. Sehingga darisanalah, para pedagang
melewati jalur ini dan saling bertukar mendagangkan hasil bumi yang mereka
bawa. Sehingga tak salah, jika Jalan Asia-Afrika ini dulunya juga disebut Jalur
Sutera Kota Bandung.” Ujar Desmon (48) menjelaskan perihal Jalan Asia-Afrika
yang juga disebut jalur sutera.
Selain itu pun Bapak Desmon (48) menjelaskan alasan lain
disebutnya Jalan Asia-Afrika sebagai jalur sutera, “Dulu di jalan Asia-Afrika ini
tinggal orang yang paling kaya di kota Bandung, bernama Andre de Wildo. Ia
merupakan pedagang kopi, memiliki beberapa hektar perkebunan kopi. Sehingga
dari hasil panen kopinya itu, ia jual melewati jalan Asia-Afrika ini, sehingga
di jalan Asia-Afrika ini terkenal dengan perdagangan kopinya dan menjadi pusat
perdagangan kopi di Kota Bandung”.
Adapun pada masa sekarang ini jalan
Asia-Afrika tidak lagi menjadi jalur sutera ataupun denyut nadi perekonomian
kota Bandung. Karena zamannya sudah lebih mudah dan cepat, para pedagang bisa
langsung membawanya ke pasar lewat jalur cepat di jalan tol. Walaupun begitu,
jalan Asia-Afrika ini tetap dilalui masyarakat, baik untuk ke daerah lain,
maupun untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sekitar jalan Asia-Afrika.
LETAK STRATEGIS
Jalan
Asia-Afrika yang letaknya strategis, dapat dijangkau semua orang, menghubungkan
antara Bandung, Cirebon, Sukabumi, dan Sumedang, membuat keistimewaan
tersendiri untuk jalan ini, sehingga disekitar Jalan Asia-Afrika ini banyak dibangunan
tempat-tempat bersejarah, seperti Gedung Merdeka, Museum Asia-Afrika, Hotel
Grand Pranger, Hotel Savoy Homann, Kantor Pos, Kantor Pikiran Rakyat, Toko de
Vries, Gedung Heritage, alun-alun Bandung, dan Masjid Agung Bandung.
Gedung Merdeka yang didirikan pada 1895, kemudian 1926 direnovasi oleh Wolf
Schoemaker, Aalbers dan Van Gallen. Dulunya bernama Societeit Concordia,
dan digunakan sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi orang Belanda yang
tinggal di Kota Bandung. Pada tahun 1955 digunakan sebagai tempat Konferensi
Tinggi Tinggi Asia-Afrika. Saat ini di Gedung Merdeka memiliki dua bangunan
utama, yang pertama menyimpan tempat siding utama KTT Asia-Afrika, sedangkan
yang kedua berada disamping Gedung Merdeka yaitu Museum KAA, yang menyimpan
koleksi benda-benda peninggalan KTT Asia-Afrika, berupa galeri foto yang
menggambarkan suasana sidang selama KTT Asia-Afrika berlangsung, kamera dan
mesin tik yang digunakan selama sidang, podium ketika Presiden Soekarno
berpidato, Koran yang memberitakan tentang pelaksanaan KTT Asia-Afrika
diberbagai surat kabar di dunia, juga ada film dokumenter yang menampilkan
Charlie Chaplin sedang berwisata keliling Indonesia.
Adapun Hotel Grand Pranger
didirikan pada tahun 1884, dan didesain ulang pada 1929 oleh Prof. Charles Wolf
Schoemaker yang dibantu oleh Ir. Soekarno. Sementara itu, Hotel Savoy Homann
didirikan pada tahun 1871. Hotel ini menjadi terkenal karena kelezatan dari
masakan koki Ny Homan, yang membuat hotel ini banyak dikunjungi banyak orang.
Hotel ini pun, menjadi tempat menginap tamu-tamu terhormat KTT Asia-Afrika, dan
Charlie Chaplin pun dikabarkan pernah menginap di Hotel Savoy Homann ini.
Disamping Hotel Savoy Homann
terdapat gedung toko serba guna, namanya Toko de Vries. Dibangun pada
tahun 1899, dan sekarang dimiliki oleh Bank OCBC NISP.
Selain itu ada Kantor Pos,
yang dibangun selama 3 tahun dari tahun 1928-1931, oleh J. Van Gent. Bangunan
ini termasuk cagar budaya, sehingga dijadikan museum dan tidak digunakan untuk
kegiatan surat-menyurat.
Adapun Kantor Pikiran Rakyat,
dulu merupakan bangunan milik Belanda, yang kemudian dibeli oleh surat kabar
Pikiran Rakyat, dan sekarang masih digunakan sebagai kantor.
Alun-alun dan Masjid Agung
Bandung sendiri, merupakan tempat melakukan ibadah, berkumpul bersama
keluarga, atau sekedar beristirahat setelah berkeliling di tempat-tempat
bersejarah, ataupun beristirahat sejenak dari perjalanan yang telah mereka
tempuh.
PUSAT
PERDAGANGAN KOPI
Seperti yang telah dijelaskan oleh
edukator Museum KAA, bahwa di Jalan Asia-Afrika ini ada orang kaya yang bernama
Andre de Wildo, yang memiliki beberapa hektar kopi, sehingga banyak menjualnya
di Jalan Asia-Afrika.
Dahulu harga kopi sangat mahal,
sehingga jarang orang yang menanam kopi. Tapi seorang yang sangat kaya dari Belanda
bernama Andre de Wildo banyak menanam kopi di Bandung, sehingga ia menjualnya
di Jalan Asia-Afrika. Sehingga tak heran, dulu Jalan Asia-Afrika menjadi pusat
perdagangan kopi di Bandung. Dengan pusat perdagangan kopi itulah, banyak orang
berlalu-lalang untuk membeli ataupun menukarkan kopi mereka, sehingga sangat layak
bahwa Jalan Asia-Afrika pernah menjadi jalur sutera.
Seiring berjalannya waktu, dan
semakin canggihnya teknologi, membuat jalur perdagangan lebih mudah dan
terjangkau, sehingga Jalan Asia-Afrika tidak lagi dijadikan pusat perdagangan.
Namun, pesonanya tidak akan pernah memudar, karena disekitar Jalan Asia-Afrika
itu banyak tempat yang menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa ini, menjadi
saksi bisu Jalur Sutera di Jalan Asia-Afrika.
*Pernah dimuat di nyimpang.com, pada 07 Januari 2019 dan di buku kumpulan tugas humaniora jurusan SKI 2017
🤩
BalasHapus