sumber foto: https://www.pexels.com/photo/white-and-green-floral-ceramic-plate-4866902/
“Bersyukur ketika akhirnya menyadari, kedekatan Sandi dengan Aya
membuat ku semakin dekat kepada Allah”
Makna kuliah
Saat memutuskan untuk kuliah, tak
pernah sedikitpun terlintas oleh ku tentang kehidupan asmara. Bahkan sosok
kriteria lelaki yang diidamkan pun tak pernah terukir di benak. Entah karena
trauma masa lalu atau hanya ingin khusu dalam bidang yang sedang digeluti, dan
tak ingin diganggu oleh namanya ‘cinta’.
Hari demi hari, ku jalankan peranku
dengan bahagia sebagai seorang Mahasiswi Sejarah di salah satu Universitas
Negeri di Bandung. Walaupun banyak orang yang meremehkan jurusan ‘Sejarah’, tak
menghalangi langkah ini untuk terus
menggali hikmah-hikmah yang bisa diambil dari masa lalu dan bisa diterapkan
sebagai strategi kehidupan di masa yang akan datang. Toh, seringkali orang
masuk ke jurang yang sama dengan alasan yang sama, melupakan masa lalu! Salah
satu contohnya, banyak orang yang sering melakukan korupsi, padahal mereka tahu
bahkan hapal kalau sebelumnya, banyak orang yang hancur karena perbuatan
korupsi itu sendiri. Namun, mereka tetap
melakukan hal yang sama karena mengacuhkan ‘masa lalu’ yang dianggap tidak
mempunyai andil untuk kehidupan yang akan datang. Apapun itu, aku bangga bisa
menyandang gelar Mahasiswi Sejarah, walau sebenarnya belum lulus. Hehe.
Perasaan ‘itu’ menyapa
Tiba-tiba, setelah memperhatikan
seorang teman pria yang duduk di pojok paling depan. Muncul senyuman misterius
dari wajah ini. Temanku, Husna, penasaran dengan sikapku yang menurutnya menyeramkan,
hehe.
“Wus, naksir Sandi ya?” Tanya Husna
dengan penuh hasrat ingin tahu.
Aku sampai tak habis pikir,
bagaimana bisa Husna menyebutkan nama itu dengan suara bervolume tinggi?
Bagaimana jika teman-teman yang lain mendengar? Bisa dibuat malu aku karenanya.
“Nggak, ko!” seru ku pendek.
“Masa sih? Aku perhatikan,
belakangan ini kamu sering senyum-senyum sendiri setiap melihat dia. Ngaku
aja!”
Aku hanya tersenyum, enggan untuk
menjawab lontaran pertanyaan dari Husna. Namun, paksaan untuk menjawab pun
terus dilakukan, memang Husna terkenal sangat kepo.
“Eem, aku hanya kagum, bukan
suka” Akhirnya mulut ini menjawab, walau aku mengatakan tidak, tapi Husna tetap
yakin bahwa aku sedang jatuh cinta.
“Iya deh, nggak suka tapi
cinta” Ledek Husna
Aku pun terus mengelak pernyataan
tersebut. Akhirnya, Husna hanya tersenyum seraya berpamitan pulang. Dan aku pun
bisa bernapas lega.
Sandi. Aku hanya tahu namanya saja,
belum kenal terlalu dalam. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini kehadiran Sandi
mengganggu pikiranku. Ya, mungkin karena sosoknya yang luar biasa ‘alim’.
Sosok Sandi yang santun, peduli
sesama, tidak pilih-pilih teman, pintar, ramah, dan sangat menjaga hijab,
ternyata telah menumbuhkan benih-benih kekaguman pada hati ini. Hingga pada
akhirnya aku sadar, benih-benih kekaguman itu berubah menjadi ‘cinta’. Tidak bisa
dipungkiri, fitrah hati ini memang berlabuh padanya, semakin aku pangkas dari hati semakin tumbuh saja.
Ujian ‘perasaan’
“Dewi, ini tugas Arkeologiku” Suara
laki-laki itu menyapa hiruk pikuknya kelas.
“Sandi? Oh, iya baik!” Aku
terbata-bata penuh kejutan. Seperti ada puluhan spesies bunga yang bermekaran
di rongga dada. Bahagia rasanya, bisa berbincang walau hanya sebentar.
Kedekatan ku dan Sandi semakin
intensif saja, saat aku mendapatkan amanah di bidang pendidikan, dan Sandi
sebagai kosmanya (ketua kelas). Bagaimanapun amanah ini mengharuskan aku dan
Sandi berinteraksi lebih lama dibanding sebelumnya. Walaupun begitu, aku tidak
pernah mencari kesempatan dalam kesempitan, aku selalu berusaha menjaga
batas-batas yang sudah ditentukan oleh agama.
Hingga pada saatnya, Sandi dipaksa
untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kosma. Aku tercenung heran terhadap
teman-teman kelas, hanya karena Sandi menolak untuk cari masalah dengan kelas
lain, lantas teman-teman dengan teganya mendemo Sandi agar mengundurkan diri
sebagai kosma.
Tidak adil! Bukankah hal yang
dilakukan Sandi itu justru bagus? Mengapa teman-teman memberhentikan Sandi dengan
seenaknya? Sebenarnya, sosok kosma seperti apa yang diinginkan oleh mereka? Hati
ku memberontak.
Lagi-lagi, akhlak Sandi membuat hati
ini semakin tak terselamatkan. Sandi mengundurkan diri dengan rasa tulus yang
teramat dalam, ketulusan Sandi terpancar dari tutur katanya yang begitu lembut saat
menerima ketidak adilan ini.
“Baik, jika memang teman-teman
menginginkan saya berhenti sebagai kosma, Insya Allah saya terima.
Sebelumnya, saya meminta maaf kalau-kalau ada diantara teman-teman semua, yang
merasa terdzolimi oleh tingkah laku saya selama menjadi kosma. Sekali
lagi, maaf..” Ujar Sandi saat berdiri di depan kelas.
Mata ku berkaca-kaca, ingin rasanya memberi
bembelaan untuk Sandi. Namun, ku urungkan niat itu. Toh, Sandi pun bisa
menerima semua itu dengan ikhlas. Lalu, mengapa aku tidak?
Saat Sandi tidak menjabat sebagai kosma,
tak membuat jarak antara kita semakin jauh. Alih-alih jauh, Aku dan
Sandi kian lengket saja. Kita saling menaruh perhatian satu sama lain. Pernah,
saat Sandi ulang tahun, ku sempatkan untuk memberi hadiah kepadanya, berbentuk
gantungan bernama Sandi.
Walau hanya memberi hadiah yang
terlihat ‘biasa’ saja, tapi hatiku tak terselamatkan, benih cinta itu semakin
tumbuh saja. Karena jarak antara kita semakin dekat, sulit rasanya jika aku
harus menghindar darinya.
Hatiku bahagia jika sedang berada di
dekatnya, walau hanya membicarakan tugas, aku tetap bahagia! Ku lihat, Sandi
pun sama seperti apa yang ku rasakan.
Kabar Mengejutkan
Di akhir semester tiga, pihak
jurusan mengadakan penelitian ke luar Bandung, tepatnya ke kota Yogya. Aku
senang bukan main, berkunjung ke ‘kota pelajar’ adalah impianku sejak dulu.
Teman-teman Jurusan Sejarah pun
mempersiapkan segala keperluan diri untuk pergi ke Yogya. Termasuk Aku, Husna,
dan Tari. Kita sibuk sekali mempersiapkan semuanya; mulai dari pakaian, alat
tulis, cemilan, hingga camera untuk selfie pun, kita siapkan. Terlebih lagi
Husna, dia sampai rela meminjam camera calon kakak iparnya untuk dibawa ke
Yogya.
“Lihat nih, aku bawa camera.
Bagus, kan?” Pamer Husna padaku dan Tari.
“Wih, bagus tuh! Baru ya,
Na?” Puji Tari dengan semangat. Namun, ada goresan rasa malu yang tersirat dari
wajah Husna.
“Bukan sih, ini camera punya
calon kakak ipar ku” Jelas Husna sambil melihat camera yang digenggamnya.
Sontak aku dan Tari tertawa
terbahak-bahak. Dengan pipi yang memerah, Husna mengajak kita untuk bergegas ke
halaman kampus, karena hanya tinggal beberapa menit lagi bus pariwisata akan
berangkat.
Sesampainya di Yogyakarta, Aku dan
yang lainnya bergegas menuju kamar hotel untuk beristirahat. Karena esok hari,
pagi-pagi sekali penelitian akan dimulai.
Penelitian pertama di kota pelajar
itu, dimulai dari mengunjungi Keraton Yogyakarta, hingga pada akhirnya jalan-jalan
ke Malioboro. Tidak sah rasanya, jika berkunjung ke Yogyakarta tanpa
menginjakan kaki ke Malioboro, tempat perbelanjaan yang tak pernah sepi.
Saat aku sedang menikmati indahnya
kota Yogya; kebudayaannya yang masih melekat, bangunannya yang unik, kuliner yang
enak dan orang-orangnya yang ramah. Tiba-tiba aku terkejut bukan main melihat
seorang perempuan dan laki-laki layaknya sepasang kekasih, mereka sedang asyik
berfoto manja di atas becak. Ya, itu Sandi dan Aya!
Astagfirullah! Mengapa bisa? Gerutuku
dalam hati.
Hati ini seperti dihujam pedang
dengan api yang membara. Pesona Yogya yang
indah sekejap saja menjadi sirna. Hanya ada desauan angin dingin kesedihan di
jalanan Malioboro, saatku berusaha menghindar dari kenyataan bahwa fitrah hati
ini harus berlabuh pada Sandi.
“Ya Allah, inikah sosok dia yang
sebenarnya?” Rasa kecewa tiba-tiba melanda hati ini. Hatiku tak terkendali
dengan semua yang ku lihat. Pudar sudah pesona sosok yang sangat aku kagumi
itu.
Sesampainya di Bandung, Aku hanya
terdiam seribu bahasa. Rasa sedih, kecewa, cemburu menggerogoti hati dan
pikiranku. Semuanya campur menjadi satu.
Dengan hati yang masih dibaluti rasa
kecewa yang amat dalam, tersiar kabar tentang Sandi dan Aya. Ya, kabar yang
mengatakan bahwa keduanya sering berdua-duaan hingga Aya sempat menginap di
kosan Sandi sampai beberapa hari lamanya.
Aku syok berat, tak menyangka dengan
semua kejadian ini.
“Dew, sudahlah! Jangan jatuh cinta
pada Sandi! Lihat, sifat dia yang sebenarnya, tak seperti apa yang kamu
sangka!” Saran Husna padaku.
“Aku setuju. Menurutku, mungkin saja
ini cara Allah menunjukan bahwa Sandi bukan yang terbaik untukmu” Lanjut Tari
Aku hanya menggeleng pendek, bingung
harus bagaimana. Karena pada kenyataannya, menghilangkan perasaan yang ada di
hati ini tak semudah membalikan telapak tangan. Apalagi, aku bertemu Sandi
hampir setiap hari. Mungkin, jika aku jatuh cinta pada laki-laki yang bukan
teman sekelas, aku lebih mudah melupakannya.
Siksaan batin yang melanda hati ini,
membuat badanku semakin kurus; sulit makan dan mudah terserang penyakit. Boleh
dikatakan, aku tipikal orang yang suka ‘mendramatisir’ suatu masalah,
terutama masalah ‘hati’.
Aku tak bisa begini terus, aku harus
memutuskan!
Bimbing Perasaan (Biper)
Mulai saat itu, perlahan-lahan aku mulai
menjauh dari sosok Sandi. Kalaupun ada kebutuhan mendesak yang membuat kita
harus berinteraksi, aku usahakan sesingkat mungkin. Meski susah, aku tetap
berusaha.
Bersyukur ketika akhirnya menyadari,
kedekatan Sandi dengan Aya membuatku semakin dekat kepada Allah. Alhamdulillah,
saat begitu gamang, cara satu-satunya menenangkan hati ialah dengan Shalat dan
membaca Al-Qur’an.
Aku mulai menata hati kembali, agar
tidak mudah jatuh cinta pada seseorang yang bukan mahromku. Selalu meminta
kepada Allah, agar cinta ini berlabuh pada seseorang yang akan menjadi suamiku
kelak.
“Rabb, tumbuhkanlah rasa cinta di hati ini untuk seseorang yang
kelak akan menjadi suamiku, Engkau Maha Mengetahui siapa saja yang berhak
menghuninya.
Tanpa-Mu, aku tak bisa apa-apa”
Dewi..
*Ditulis oleh Riff'ah Yaumil Amalia @riffahamallia, berdasarkan sepotong kisah hidupku
😢
BalasHapus